Oleh: FIRMANSYAH AKBAR
Sukses Barcelona menjadi jawara Liga Champion 2010/2011 juga menjadi sukses Spanyol? Ouw, tidak bissaaaa (meniru gayanya Sule OVJ).
Bagi saya, sukses Barcelona adalah sukses bangsa Catalonia (sebuah suku di Barcelona), bukan negara Spanyol (negara yang dianggap masih ‘menjajah’ suku Catalonia). Ya, harus diketahui bahwa Catalonia adalah dilema sebuah bangsa ‘tanpa’ negara.
Bangsa Catalonia, merupakan sebuah bangsa tersendiri di Spanyol. Mereka masih merasa ‘terjajah’ dari pemerintahan Spanyol, baik dari segi budaya, ekonomi, sosial-kemasyarakatan, politik dan bahasa.
Seluruh tampuk kekuasaan pemerintah sepenuhnya hanya dikuasai oleh Madrid, sebagai ibukota Spanyol. Barcelona “terpinggirkan”. Barcelona adalah sebuah bangsa yang tidak mengekor dari budaya dan bahasa Spanyol.
Kalau seandainya rakyat Catalonia ingin memilih, tentu mereka akan memilih merdeka, termasuk merdeka dalam sepakbola. Sama halnya dengan Inggris Raya, di mana Irlandia, Irlandia Utara, Wales, dan Skotlandia, hanya bisa menikmati kemerdekaannya di dunia sepakbola saja.
Ya, Catalonia dan Spanyol adalah dua bangsa yang berbeda tetapi tetap dalam satu payung bernama Spanyol. Sejak dulu, bangsa Catalonia selalu dianaktirikan oleh bangsa Spanyol. Dalam bidang ekonomi dan politik , Barcelona selalu menjadi nomor dua, padahal ekonomi bangsa Catalonia sudah termasuk nomor 2 di Eropa sejak abad ke-18.
Namun begitu, selalu saja tak ada tempat bagi orang-orang Catalan untuk berkembang, untuk merasa sama, apalagi melebihi bangsa Spanyol itu sendiri, termasuk di seluruh aspek kehidupan. Hal ini-lah yang melatarbelakangi lahirnya militansi gerakan-gerakan bawah tanah dari sejumlah tokoh-tokoh penting di Catalonia untuk merdeka.
Gerakan ini semakin massif dan tentunya alot, baik di tingkat elit maupun tingkat bawah. Namun semua itu bisa diredam dengan nasionalisme semu dan kebanggaan Spanyol dari zaman dahulu. Walau demikian, bangsa Catalonia mencaplok harga mati bagi klub sepakbola kebanggaan mereka, Barcelona, yang juga adalah ibukota bangsa Catalonia. Tidak ada alasan…!! Barcelona harus selalu melampaui Real Madrid, klub kebanggan ibukota bangsa Spanyol.
Nah, di Bidang Sepakbola inilah terletak persaingan yang begitu menyolok, begitu kentara dan terasa sekali perlawanan nyata bangsa Catalonia terhadap bangsa Spanyol. Berbicara sepakbola, tentu Barca dan Madrid merupakan simbol rivalitas tingkat tinggi, melebihi Juventus vs AC Milan di Italia, melebihi Manchester United vs Liverpool di Inggris, melebihi Ajax vs Feyenoord di Belanda dan melebihi FC Porto vs Benfica di Portugal, serta melebihi Galatasaray vs Besiktas di Turki.
Gambaran rivalitas tingkat tinggi ini bisa dilihat dari perpindahan pemain antar-kedua tim raksasa itu. Jangan ditanya bagaimana ekspresi kemarahan rakyat Catalan dan fans fanatik Barca jika ada pemainnya yang hijerah ke Madrid.
Pun sebaliknya, warga Madrid tentu akan marah besar jika tahu ada bintangnya yang dilego ke Barcelona. Pemain-pemain tersebut bakal mendapat label “haram” jika berhasil pindah ke salah satu klub, apakah pemain Barca ke Madrid atau pemain Madrid ke Barca.
Dari aspek ini tentu komitmen Barca lebih terjaga ketimbang Madrid. Sudah banyak bintang Barca yang dibajak Madrid dengan iming-iming fulus yang menggairahkan. Maklum, Madrid memiliki kekayaan tanpa batas, karena Madrid adalah kekuasaan tertinggi bangsa Spanyol.
Awal kejayaan Barcelona adalah tahun 1929, di mana Barca untuk kali pertama berhasil menjadi jawara Liga Spanyol, dengan salah satu bintangnya adalah kiper Ricardo Zamora. Bagi penggila bola di se-antero dunia, nama Zamora tentu sudah tidak asing lagi. Saking hebatnya, nama Zamora diabadikan sebagai penghargaan atas kiper terbaik di Liga Spanyol hingga sekarang.
Namun, malang bagi Barca, sesaat setelah meraih titel pertamanya di Liga Spanyol, sang kiper dibajak Madrid, tentu dengan iming-iming fulus yang ‘wah’ kala itu. “Pengkhianatan” ini melukai hati pendukung Barca, sehingga mereka mencantumkan label “Pengkhianat” kepada Zamora. Para “pengkhianat” pun satu per satu lahir dan amat melukai para pendukung setia Barcelona, apatahlagi “pengkhianat” ini adalah bintang kelas wahid di era-nya masing-masing.
Tahun 80-an ada Michael Laudrup, ikon Denmark, yang hijerah ke Madrid dengan gemerlap fasilitas yang disediakan. Tahun 90-an muncul pengkhianatan yang oleh Barca disebut paling dahsyat yang dilakukan Luis Figo (Bintang Portugal), karena berani menerima pinangan Madrid dengan nilai kontrak paling mahal kala itu.
Coba kita flashback kembali, bagaimana situasi batin atau kondisi psikologis Figo tatkala bertemu El Barca di laga El Classico. Saya, yang ketika itu menonton laga El Classico via TV, di mana Figo melawan mantan klub-nya, Barcelona, di rumah Barca, hanya bisa geleng-geleng kepala dan seakan tidak percaya.
Bagi yang menyaksikan langsung laga itu di layar TV, tentu ingat bagaimana moment Figo mendapat lemparan (maaf) kepala babi yang berlumuran darah sebagai simbol keserakahan. Tidak hanya itu, Figo juga dilempar dengan bendera bangsa Catalonia. Figo pun terdiam dan tertunduk setelah mendapat perlakuan itu. Komitmen Figo untuk setia dengan Barca, minimal jika pindah, tidak ke Madrid, harus dibayar dengan cacian, sindiran dan lemparan dari fans Barca.
Masih ada lagi “pengkhianat” yang lahir di tahun 2000-an. Sebut saja Javier Saviola, bintang Argentina, yang pernah disebut-sebut sebagai Maradona Baru oleh para pengamat bola. Namun bedanya, kepindahan Saviola ke Madrid tidak terlalu berdampak dengan prestasi Barcelona.
Saviola sebenarnya sudah masuk dalam daftar jual klub, namun fans berharap Barca tidak menjualnya ke Madrid. Namun ternyata Saviola lebih memilih Madrid ketimbang klub lain dengan status bebas transfer. Jadilah Saviola salah satu pengkhianat Barca, padahal Saviola termasuk pemain kesayangan suporter Barcelona.
Bintang Madrid pun ada juga yang hijerah ke Barcelona, sebut saja Luis Enrique (Spanyol) dan Samuel Eto’o (ikon Kamerun). Namun kepindahan mereka bukan karena dibajak Barca, tapi sang pemain-lah yang lebih memilih untuk hijerah ke Barca.
Samuel Eto’o misalnya, direkrut Madrid ketika masih berusia belasan tahun, namun tak pernah mendapat kesempatan membuktikan kehebatannya. Jadilah Eto’o ngambek dan minta dijual, sehingga destinasi berikutnya adalah bermain di tim fantasi, merasakan kenikmatan bermain dengan sekumpulan seniman-seniman di Barcelona.
Lain lagi dengan Luis Enrique. Dia merasa kemampuannya tidak berkembang di Madrid karena gaya bermainnya tidak cocok di Madrid. Dia lebih sreg bermain di barca yang lebih mementingkan keindahan bermain bola.
Gambaran lain dari persaingan bangsa Catalonia dengan bangsa Spanyol atau Barcelona dengan Real Madrid, terangkum jelas dalam pesta kemenangan sepakbola negara Spanyol di Piala Dunia 2010 yang berhasil merengkuh tropi Piala Dunia-nya yang pertama.
Lihat-lah moment di mana para pemain Barcelona, sebut saja Xavi Hernandez dan Carles Puyol, melakukan perayaan tersebut dengan mengibarkan bendera bangsa Catalonia, merah-kuning, bukan bendera Spanyol. Terlebih lagi pada pesta kemenangan Barca di panggung Liga Champion musim ini.
Barca tentu lebih bangga mengibarkan bendera bangsanya sendiri ketimbang bendera negara Spanyol. Lihat pula moment di mana Pelatih Barca Pep Guardiola mengikat tropi Liga Champion dengan bendera Catalonia, bukan bendera Spanyol. Kemudian para pemain Barca mengangkat “Si Telinga Besar” sambil meneriakkan Visca Barcelona, Visca Catalonia, bukan Espana (Spanyol). Betulkah Barcelona “bukan" Spanyol..? (Lukman Hamarong)